Kartosoewirjo Memproklamasikan Negara Islam Indonesia


Kartosoewirjo Memproklamasikan Negara Islam Indonesia
Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Ketika itu terjadinya sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII, Islam muncul dalam wajah yang tegang. Namun, peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah “pemberontakan”. Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah “pemberontakan”, maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah perjuangan suci anti-kezaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini. “Pemberontakan” bersenjata yang sempat menguras habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional, bukan “pemberontakan” yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan politik lainnya, melainkan karena sebuah “cita-cita”, sebuah “mimpi” yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus.
Darul Islam adalah perjuangan umat Islam yang bersifat nasional yang juga meletus di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Aceh. Perjuangan yang bermuara dari Jawa Barat ini telah mengubah banyak persepsi bangsa Indonesia tentang peran ideologi yang ada dalam sebuah perjuangan selama ini. Perjuangan suci Darul Islam di daerah-daerah dipimpin oleh tokoh lokal yang memiliki motivasi yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Banyak studi yang membahas tentang resistensi politik mengalami stagnasi dalam melihat persoalan. Stagnasi itu umumnya hanya melihat persoalan resistensi politik dari sudut pandang “struktur agraria” atau patron-client atau “restrukturisasi lembaga negara ” atau “kekecewaan orang-orang bawah”. Padahal, jauh di dalamnya, sebuah perjuangan suci sebenamya juga merupakan suatu ekspresi nilai-nilai, suatu pengungkapan idealisme, pemikiran dan keinginan mengadakan perubahan berdasarkan orientasi nilai tersebut yang dianggap berlawanan secara norma umum, sehingga ia disebut pemberontakan.
Pemberontakan sendiri, melihat dari cara Harald Holk Dengel mengungkapkan, lebih banyak bersumber dari nilai-nilai keyakinan yang dipegang oleh para pelakunya. Pemberontakan Darul Islam sekaligus menunjukkan betapa konflik ideologis para pendiri republik ini berkisar sekitar dasar negara dan haluan politik negara. Dari semenjak ketika organisasi-organisasi nasionalisme pertama-tama berdiri di Nusantara ini, pemikiran bahwa Indonesia akan merdeka menyelimuti sebagian besar keyakinan para nasionalis ketika itu. Maka jauh-jauh hari mereka sudah memperdebatkan tentang jika bangsa ini sudah merdeka maka bagaimanakah bentuk kekuasaan dan tata cara kenegaraannya akan diatur, juga hukum dan pelaksanaa birokrasi negara.
Perdebatan ini begitu alotnya sehingga melibatkan banyak nasionalis tersebut mengajukan berbagai nilai sebagai dasar negara ini. Ada yang mengusulkan nilai nativisme budaya daerah sebagai dasar, juga ada yang mengusulkan demokrasi a la Barat, ada yang menginginkan ideologi komunisme, juga ada Islam. Masing-masing punya alasan kuat kenapa nilai-nilai tersebut diajukan dan masing-masing mengklahll bahwa usulnya sudah merepresentasi mayoritas; keinginan rakyat Indonesia. Sudah sejak semula para nasionalis Islam mencita-citakan suatu negara Islam. Cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan itu berbeda-beda, ada yang dengan jalur konstitusi seperti Muhammad Natsir dan tokoh-tokoh Partai Masyumi lainnya, juga ada dengan jalan perjuangan suci seperti yang dilakukan oleh Kartosuwirjo. Ia sangat konsisten dengan konsep politik hijrah-nya yang berarti memisahkan diri secara pemikiran dan menarik garis demarkasi pembeda antara Negara Islam dan Negara Bukan Islam.
Wajar jika kemudian dia tidak aktif lagi dalam diskusi atau rapat atau sidang partai maupun organisasi. Dia bersikap nonkooperasi dalam semua hal dan membangun sendiri kekuatannya tanpa bantuan pihak lain. Bagaimana rumitnya perdebatan itu, ternyata tidak hanya berhenti sebagai perdebatan semata, namun lebih dari itu berusaha mcngajukan pemikiran tentang ideologi tersebut secara fisik yakni dengan cara memberontak.
Pada awal pergerakan kebangkitan nasional Indonesia, kekuatan logika Islam dalam lapangan politik adalah sangat besar pengaruhnya dan sangat beragam. Ada yang hanya sebatas memihak, ada yang juga sebatas setuju belaka bahkan ada yang sangat menentang. Kartosuwirjo adalah tokoh yang sangat militan dalam intensitas perjuangan untuk mendirikan negara yang berdasarkan ideologi Islam. Meski ketika itu perdebatan tentang ideologi Islam belum final, ia telah menerjemahkan nilai-nilai Al-Qur’an ke dalam bentuk-bentuk praktek birokrasi dan hukum negara. Mungkin, jika ada yang mempraktekkan nilai-nilai ke-Islaman, dia itu adalah Kartosuwirjo dan pejuang mujahidin sejati dalam Darul Islam, sementara umumnya masyarakat hanya mempraktekkan nilai-nilai ritual ibadah dan secara terbatas (bersifat individu) mempraktekkan syari-ah Islam.
Buku ini telah melengkapi satu lagi khazanah sejarah bangsa yang selama ini berada dalam kabut gelap. Penulisan tentang Darul Islam, bukan hanya langka tapi juga usaha ke arah itu bukan suatu kerja yang mudah. Dia memerlukan melihat ke sejarah di masa lampau Indonesia dengan banyak perbandingan dan penelusuran data sekunder, baru kemudian menyusun plot dan wawancara serta memahami istilah-istilah lokal serta terma-terma Islam yang rumit.
Banyak kesan bagus pada organisasi dan struktur Darul Islam. namun juga ini yang sulit orang lain melakukannya, adalah cara Dengel menukik ke persoalan-persoalan esensial yang memperlihatkan kehebatan perjuangan suci Darul Islam ini berdasarkan referensi primer! Sungguh menarik membaca buku karya Holk Harald Dengel yang judul aslinya adalah Darul Islam: Kartosuwirjos Kamf um einen Islamichen Staat Indonesien ini. Buku ini memiliki dua keunggulan sekaligus, pertama, bahwa buku ini adalah sebuah tulisan mendalam tentang biografi seseorang (Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo} dan kedua membahas harakah Darul Islam secara lebih bersifat ideologis. Sebagai sebuah karya disertasi pada jurusan sejarah Universitas Heidelberg buku ini sangat padat berisi berhagai data dan informasi baru yang dikorek langsung dari sumber-sumber utama (primary sources) seperti wawancara dan tulisan-tulisan asli dari subjek target penelitian.
Untuk memberi gambaran lebih jauh mengenai posisi politik kelompok Islam yang semakin kuat pada masa pasca revolusi ini, beberapa catatan historis berikut relevan dikemukakan di sini. Pertama, pada Agustus 1950, aktivitas partai-partai politik di Indonesia telah mengalami penyegaran kembali dan giat setelah masa adem-ayem pada 1949. Dalam Parlemen yang baru dibentuk dengan jumlah keseluruhan anggota 236 orang, Masyumi tampil sebagai partai terbesar dengan menduduki 49 kursi. Namun demikian, karena adanya banyak partai, organisasi, dan asosiasi yang diwakili dalam parlemen (tidak kurang dari 22), bersama PSII, kelompok Islam hanya memperoleh 54 kursi (23%). Kenyataan ini meruntuhkan mitos mayoritas Islam dalam politik. Kedua, dalam beberapa kesempatan, Masyumi diminta untuk membentuk dan memimpin kabinet. Dari tujuh kabinet yang berjalan di bawah sistem demokrasi konstitusional (1950-1957), tiga kabinet dipercayakan kepemimpinannya kepada Masyumi (Kabinet Natsir pada 1950-1951; Kabinet Sukiman pada 1951-1952; dan Kabinet Burhanuddin Harahap pada 1955-1956). Selain itu, ketika Partai Nasionalis Indonesia (PNI) diberi mandat untuk membentuk pemerintahan, baik Masyumi maupun NU, berperan sebagai pasangan koalisi yang utama. Terakhir, hasil pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada September 1955 menunjukan, kelompok Islam (kali ini terdiri dari Masyumi, NU, PSII, dan Perti ) menguasai 114 dari 257 kursi (43,5%) dalam parlemen. Walaupun hasil akhir tersebut jelas jauh di bawah perkiraan Sjahrir, namun itu telah menggandakan wakil kelompok Islam dalam parlemen.
Kenyataan ini, ditambah dengan tidak adanya kontroversi-kontroversi ideologis yang terbuka, boleh jadi turut menyebabkan berlangsungnya hubungan politik yang relatif harmonis antara kedua payung religio-politik besar ini selama tahun-tahun pertama politik Indonesia pasca revolusi (1950-1953). Kritik terang-terangan terhadap Pancasila oleh para pemimpin dan aktivis politik Islam jarang terjadi. Bahkan Mohammad Natsir menyatakan bahwa —karena dimasukkannya prinsip “Percaya kepada Tuhan” ke dalam Pancasila— Indonesia tidak menyingkirkan agama dari masalah-masalah kenegaraan.
Namun bukan karena itu negara Indonesia dilanda krisis politik, terutama krisis yang direaksikan oleh Islam. Indonesia saat itu tengah jatuh ke dalam “titik terendah dalam hal kemampuannya memperoleh kontrol sosial dan efektivitasnya dalam mendistribusikan sumber-sumber. Ketidak mampuan negara untuk “mempenetrasi” masyarakat, untuk “mengatur” hubungan-hubungan dengan berbagai pengelompokan sosial-politik, dan untuk “menggali” serta “mendistribusikan” baik sumber daya alam maupun sumber daya ekonomi dalam cara-cara yang kurang-lebih tegas, turut menyebabkan munculnya beberapa gejolak sosial-politik yang amat merepotkan kepemimpinan nasional. Beberapa contoh yang terkenal dari gejolak-gejolak itu adalah “pemberontakan” Darul Islam (DI), Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan Perjuangan Semesta Alam (Permesta).
Salah satu di antara butir-butir agenda terpenting dari kabinet-kabinet Indonesia pasca kemerdekaan adalah penyelenggaraan pemilihan umum untuk Parlemen dan Majelis Konstituante. Kabinet Sjahrir berjanji akan menyelenggarakan pemilihan umum pertama pada awal Januari 1946. Sayangnya, situasi revolusi fisik (1945-1949) tidak memungkinkan dilaksanakannya pemilihan umum itu. Ketika kedaulatan negara diserahkan Belanda ke Republik Indonesia, sebagaimana dicatat Feith, “setiap kabinet menjadikan pemilihan umum untuk menyusun Majelis Konstituante sebagai bagian penting dari program-programnya. Meskipun demikian, baru pada kabinet Burhanuddin Harahap sajalah pemilihan umum pertama berhasil diselenggarakan (1955).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tertundanya penyelenggaraan pemilihan umum itu. Yang paling penting adalah ketakutan para elite negara dan partai, khususnya mereka yang berasal dari kelompok nasionalis sekuler, bahwa pesta-pora demokrasi itu dapat mengancam hubungan politik antara agama (Islam) dan negara yang sudah di-“dekonfessionalisasi” seperti yang berlangsung saat itu. Mereka percaya bahwa peristiwa-peristiwa politik seperti pemilihan umum dapat digunakan oleh kalangan Islam untuk menyusun dukungan rakyat guna merealisasikan gagasan negara Islam. Mengingat potensi mereka untuk memenangkan suara mayoritas, sukses kelompok Islam dalam pemilihan umum akan melempangkan jalan bagi mereka untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara di Majelis Konstituante yang artinya akan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam.
Sejak 1950 hingga sekitar 1959, dekade yang dikenal sebagai periode Demokrasi Konstitusional, Indonesia berada di bawah UUD Semenetara 1950. Terlepas dari kenyataan bahwa negara telah mengalami beberapa kali perubahan konstitusi, UUD 1950 itu masih dianggap sementara. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa tugas utama Majelis Konstituante adalah menyusun sebuah rancangan konstitusi yang permanen. Dalam kerangka legal-konstitusional inilah para anggota Majelis Konstituante terlibat dalam perdebatan-perdebatan ideologis-politis yang sengit dan panas. Meski bukan tanpa kesulitan, Majelis Konstituante akhirnya dapat menyelesaikan 90% tugas-tugasnya, termasuk membuat berbagai ketetapan seputar masalah unsur-unsur substansif konstitusi seperti hak-hak asasi manusia, prinsip-prinsip kebijakan negara, dan bentuk pemerintahan.
Dalam diskursus ini, kelompok Islam pada intinya menyatakan kembali aspirasi-aspirasi ideologi-politik yang sudah mereka kemukakan pada masa pra-kemerdekaan, yakni mendirikan negara yang jelas-jelas berdasarkan Islam. Mereka mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi negara berdasarkan argumen-argumen mengenai (1) watak holistik Islam, (2) keunggulan Islam atas semua ideologi dunia lain, dan (3) kenyataan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas warga negara Indonesia.
Dipimpin Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Zaenal Abidin Ahmad, Isa Anshari, dan K.H. Masjkur, mereka kukuh mempertahankan watak Islam yang holistik. Mereka percaya bahwa Islam mengatur setiap aspek kehidupan. Menurut mereka, negara —yang pada dasarnya merupakan sebuah organisasi yang meliputi seluruh masyarakat dan lembaga, yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan aturan-aturan yang mengikat — tidak bisa lain kecuali mendasarkan diri kepada prinsip-prinsip Ilahiyah.
Dalam konteks Pancasila sebagai ideologi negara, mengingat bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang heterogen secara keagamaan, beberapa tokoh kelompok nasionalis memandang Pancasila sebagai suatu kesepakatan bersama. Bagi para politisi PNI dan aktivis Kristen seperti Arnold Mononutu, Pancasila merupakan sebuah sintesis yang memadai bagi berbagai kelompok agama yang berbeda. Jika Islam harus dijadikan dasar negara, yang terutama ia khawatirkan adalah tempat kelompok-kelompok agama lain di Nusantara. Bagaimana pun, hal itu mengandung citra diskriminasi konstitusional.
Diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara serta dihapusnya “tujuh kata” dari Piagam Jakarta dapat ditafsirkan sebagai kekalahan politik Islam. Kendatipun demikian, para pendukung gagasan negara Islam tersebut, untuk sebagian besar, tidak menyerah begitu saja. Perjuangan suci Darul Islam sewaktu perang frontal (1949-1964) dan diproklamsikan berdirinya negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo dan perjuangan wakil-wakil Islam di dalam sidang Konstituante hasil pemilu 1955 untuk menggolkan kembali gagasan negara Islam, merupakan indikasi konsistensi perjuangan mereka.
Pergulatan Islam dan Negara telah menghasilkan banyak pemberontakan, yang secara ekologi kultural dapat dijelaskan sebagai berikut: secara ekonomi, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan Selatan, adalah wilayah pengekspor hasil alam utama, sedangkan Jawa dengan tingkat perkembangan penduduk dan urbanisasi yang tinggi menjadi pengimpor; wilayah wilayah perjuangan suci Islam yang utama di tahun 1957 1958 adalah wilayah wilayah yang surplus ekspornya lebih sejahtera yang mencari jalan untuk memotong garis kekuasaan Jawa dan Pemerintah Pusat dan dengan cara mengambil perdagangan di tangan mereka sendiri dan mencegahnya mengalir ke Jawa.
Pada tahun 1949, tepatnya pada tanggal 7 Agustus, diproklamasikan berdirinya “Negara Islam Indonesia” oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di desa Malangbong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat selain sebagai tanggapan terhadap kecenderungan republik ke arah sekuler, juga merupakan upaya mewujudkan cita-cita teologis Negara Islam. Perjuangan suci yang dikenal dengan nama lain Darul Islam ini berpusat di Jawa Barat dengan meluaskan pengaruhnya hingga ke Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh. Pemimpin Darul Islam ini, Kartosoewirjo, adalah seorang pemimpin pergerakan umat Islam yang semenjak zaman Hindia Belanda telah lama (mulai 1934-1942) mencita citakan berdirinya suatu negara Islam di Indonesia. Ia telah dari sejak awal mengumpulkan para pengikutnya untuk melawan Belanda dan berjuang tidak secara ko operatif dan tidak mau melalui parlemen (volksraad) atau partai politik yang pernah dimasukinya yaitu PSII (Partai Sjarikat Islam Indonesia) maupun Masjumi (Madjlis Sjoero Moeslimin Indonesia).
Perjuangan suci Darul Islam ini pada awalnya berkesempatan mengkonsolidasikan diri ketika Divisi Siliwangi TNI dipindah ke Jawa Tengah sebagai pelaksanaan perjanjian Renville, pasukan pasukan Hizbullah dan Sabilillah yang berada di bawah kepemimpinan Kartosoewirjo tetap tinggal di Jawa Barat karena memang tidak setuju dengan Perjanjian Renville. Pasukan Hizbullah dan Sabilillah secepatnya mengambil sikap dalam menanggapi kekosongan kekuasaan di wilayah tak bertuan Jawa Barat dengan segera menyusun struktur pertahanan yang merupakan cikal bakal sebuah negara. Ketika pasukan TNI Divisi Siliwangi kembali dari Jawa Tengah untuk melakukan perang gerilya, setelah Belanda melancarkan Agresi Militer II, mereka menjumpai kesatuan kesatuan Hisbullah dan Sabilillah dan kesatuan kesatuan bersenjata lainnya yang kemudian bernama Tentara Islam Indonesia (TII). DI/TII mencoba untuk menghalang halangi kembalinya TNI ke Jawa Barat dan berusaha untuk menarik anggota anggota TNI ke pihaknya. Pertempuran antara pasukan DI/TII dan TNI Divisi Siliwangi pun tidak dapat dihindarkan. Pertempuran pertama terjadi pada tanggal 25 Januari 1949 di desa Antralina, Malangbong, antara Batalyon M. Rivai yang baru tiba dari Jawa Tengah dengan pasukan Tentara Islam Indonesia (TII).
Jika di zaman kolonial Belanda, perjuangan Islam lebih menyangkut tarik menarik dan perdebatan strategi perjuangan antara “perjuangan politik” dan “pembangunan moral”, maka ketika meletusnya perjuangan suci DI/TII ini pembeda utamanya adalah soal keabsahan Republik Indonesia. Sementara partai partai politik Islam bertolak dari sikap dasar bahwa RI adalah negara sah, maka Darul Islam (DI) mengingkari keabsahannya. Betapapun masalah DI kemudian berhasil “diturunkan” menjadi masalah keamanan, tidak lagi soal ideologis, corak pendekatan yang diajukannya di samping bisa menunjukkan lubang lubang dalam argumen politik Islam, juga memberi kesempatan kepada faktor luar untuk mengambil inisiatif politik yang pasti, tanpa ambivalensi moral. Sementara itu faktor luar telah makin mendesak dan masalah konstitusional pun makin mengabur, maka terjadilah kegagalan Konstituante, PRRI/Permesta meletus yang melibatkan orang orang Masyumi dan PSI dan Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno pun makin kuat.
Perbedaan yang paling mendasar antara Masyumi dengan Darul Islam (DI/TII) yaitu bahwa Masyumi menyetujui rumusan rumusan Pancasila sekaligus berbicara tentang suatu “masyarakat yang Islami”, tetapi tidak berbicara tentang “Negara Islam” sebagaimana Darul Islam (DI/TII). Perkembangan perjuangan suci Islam selanjutnya pasca Darul Islam hingga masa Orde Baru adalah gerakan yang terpecah dalam dua arus aktivisme sosial yaitu tradisionalis dan modernis. Yang Tradisionalis adalah gerakan gerakan yang diwakili oleh NU (Nahdlatul Ulama) dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), sementara yang modernis adalah yang diwakili oleh Muhammadiyah, Persis (Persatuan Islam), Al Irsjad dan lain lain. Aktivisme dan idealisme politik tidak lagi berani mengemuka setelah kegagalan politik ini. Semenjak itu Islam terus menjadi sasaran kecurigaan Negara, seberapapun positifnya sumbangan Islam yang bisa diberikan kepada negara. Sejak itu, posisi politik Islam pun mengalami kelumpuhan total.
Kelumpuhan politik ini selanjutnya diperparah oleh perpecahan politik umat Islam masa kemerdekaan yang dimulai dari terpecahnya kekuatan politik Islam Masyumi yang selama tujuh tahun menjadi wakil tunggal politik Islam. Tidak lagi bergabungnya PSII dan NU dalam Masyumi tampaknya memang harus dijelaskan melalui pendekatan sebagaimana telah disebutkan tadi, terutama yang menyangkut persoalan alokasi peran politik antar berbagai faksi kekuatan yang terfusikan dalam Masyumi. Untuk kasus PSII, Soemarso Soemarsono melihat bahwa hal itu disebabkan oleh tak kunjung datangnya kesempatan bagi PSII untuk duduk dalam kabinet. Namun demikian, persoalan ini tidak begitu mempengaruhi perjalanan Masyumi, karena kecilnya kekuatan PSII itu sendiri. Akan tetapi, di sisi lain, hal ini merupakan awal melemahnya kekuatan Islam dalam diri partai Masyumi.
Melemahnya Masyumi sebagai kekuatan politik Islam lebih terasakan lagi setelah NU mengikrarkan diri keluar dari partai tersebut. Hal ini disebabkan NU mempunyai massa sangat besar, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Sejak itu (1952) NU mengubah dirinya dari jam’iyyah, organisasi sosial keagamaan, menjadi partai politik. Kebesaran massa NU ini dibuktikan pada Pemilu 1955, di mana NU muncul sebagai partai terbesar nomor tiga sesudah PNI dan Masyumi dengan meraih 18,4 persen suara dari seluruh jumlah peserta Pemilu. Karena itu, NU mendapatkan 45 kursi dalam Parlemen.
Orang boleh melihat bahwa keluarnya NU dari Masyumi sebagai tindakan oportunistik. Tetapi, bagi NU sendiri hal itu merupakan cara terbaik untuk membebaskan diri dan jamaahnya dari rasa tidak puas, baik politik maupun religius, dalam tubuh Masyumi.
Perpecahan-perpecahan politik Islam, tetap tidak mengubah orientasi perjuangan sebagian umat Islam untuk terus memperjuangkan gagasan negara Islam. Di dalam berbagai sidang Dewan Konstituante, khususnya Masyumi, tetap menyuarakan ide-ide negara Islam. Sementara itu masa Demokrasi Liberal atau Demokrasi Konstitusional yang ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet-kabinet, baik oleh alasan-alasan politis-sekuler maupun politis keagamaan, telah mendorong Presiden Soekarno untuk membubarkan Konstituante. Sejak Soekarno memberlakukan sistem Demokrasi Terpimpin (1957-1965), Indonesia memasuki masa di mana peranan demokrasi telah termanipulasikan oleh prinsip-prinsip kediktatoran, merupakan sebentuk pemerintahan otokratis yang menumpas tanpa setiap oposisi atau pandangan yang tidak menyetujuinya. Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup (1962) pada periode Demokrasi Terpimpin ini. Ironisnya, dukungan besar untuk itu justru diberikan oleh kaum nasionalis dari kalangan NU. Posisi Presiden pada masa ini sangat dominan dalam hampir semua bidang kehidupan dan diharapkan sebagai pemeberi kata putus terhadap segala persoalan. Masa ini juga ditandai oleh keengganan kelompok militer karena keberhasilan PKI (Partai Komunis Indonesia) mendekati Soekarno. Meski pernah digunting tahun 1948 oleh pemberontakan Komunis di Madiun, Presiden Soekarno justru memberikan keleluasan lebih besar kepada PKI untuk bergerak dan menguasai panggung politik nasional. Hal ini mendatangkan implikasi cukup serius terhadap seluruh aspek kebijaksanaan pemerintah yang mempunyai relevansi dengan kehidupan keagamaan umat Islam. Kebijaksanaan Soekarno itu, menurut W.F. Wertheim, telah “menjinakkan” kekuatan Islam.
Kebijaksanaan lain Soekarno yang dinilai sangat merugikan Islam adalah keputusannya untuk membubarkan Masyumi yang pernah bekerjasama dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) untuk membuat demokrasi tandingan yang diberi nama Liga Demokrasi, karena keterlibatan sebagian pemimpin dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Dengan dibubarkannya Masyumi pada bulan Agustus 1960 itu, NU yang telah menjadi partai politik dan keluar dari keanggotaannya sebagai salah satu partai pendukung Masyumi, tampil sebagai wakil politik Islam. Namun juga memperbesar potensi PKI untuk menguasai massa. PKI tidak hanya berhasil dalam meningkatkan peranannya dalam pemerintahan dan masyarakat, juga lambat laut bekerja sama dengan Presiden lebih erat apalagi karena Presiden tambah lama tambah bergantung pada negara-negara komunis, terutama Cina. Hubungan dengan Cina semakin membuat ekonomi Indonesia terwarnai oleh sistem negara tersebut dan pengaruh orang-orang Cina yang menguasai perekonomian Indonesia.
Data perjuangan umat Islam yang terentang di atas ini sesungguhnya menggambarkan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik umat Islam. pada periode itu, terutama periode menjelang kemerdekaan dan pada masa Demokrasi Liberal, perhatian sebagian besar pemimpin Islam terpusatkan pada persoalan-persoalan Islam dalam hubungannya dengan pembangunan politik-ideologi. Yang berkembang ketika itu, misalnya, konsepsi bahwa Islam itu adalah dinun wa daulah (agama sekaligus terlibat dalam persoalan-persoalan kenegaraan); Islam itu meliputi kehidupan dunya wa al-akhirah (dunia dan akhirat) dan lain sebagainya.
Apa yang dimaksud sebagai perjuangan politik-ideologi itu adalah Islam sebagai dasar dan ideologi Negara, yang pada awalnya diperjuangkan oleh para pemimpin Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH A. Sanusi, KH Mas Mansyur, Abdul Khahar Muzakir, KH A. Wahid Hasyim, KH Masykur, Sukiman Wirjosandjojo, Abikusno Tjokrosujoso, Agus Salim dan lain sebagainya. Di dalam periode Konstituante (1956-1959), perjuangan itu dilanjutkan oleh Mohammad Natsir, Masykur, Hamka, Isa Anshari dan Osman Raliby.
Tentang Islam sebagai dasar negara, misalnya, Mohammad Natsir menegaskan pendiriannya bahwa Islam harus dijadikan sebagai dasar negara Indonesia, mengingat mayoritas penduduknya beragama Islam. Menurutnya, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu sekularisme (la-dieniyah) atau paham keagamaan (dien). Dan menurut pendapatnya, Pancasila bercorak la-dieniyah, karena itu ia sekuler, sebab tidak mengakui wahyu sebagai sumbernya. Artinya, Pancasila hanyalah semacam produk non-Tuhan, atau produk setan. Adapun sepanjang menyangkut persoalan pemberian gelar Kepala Negara, Natsir tidak mengikuti tradisi pemberian gelar sebagaimana diwajibkan oleh teori politik Islam klasik, yaitu Khalifah. Baginya, sebutan apa saja boleh. Yang penting, seorang kepala negara memiliki sifat, hak dan kewajiban yang sesuai dengan ajaran agama Islam, di antaranya adalah dengan memberlakukan prinsip-prinsip Syura (musyawarah) yang dikembangkan dan disesuaikan menurut hasil ijtihad umat. Demikian, corak pemikiran politik Islam Indonesia yang tidak terikat oleh tradisi politik Islam Klasik, melainkan bersiteguh pada esensi ajaran Islam yang menyangkut masalah kenegaraan dan kepemerintahan.
Tidak satupun keinginan para pemimpin Islam, dalam hal ini Islam sebagai dasar dan ideologi negara, terwujud. Kendatipun demikian, hal ini tidak menjadikan proses Islamisasi terhenti sama sekali. Pada masa Soekarno, kendatipun banyak menggariskan kebijaksanaan politik yang kurang menguntungkan perkembangan politik Islam, sebagian langkahnya cukup berarti untuk dinilai sebagai gerak Islamisasi birokrasi. Gagasan-gagasannya untuk menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Israj Mi’raj, Nuzul Qur’an dan lain sebagainya di lingkungan Istana Merdeka, serta upaya membangun mesjid Istana Baiturrahim dan Masjid Istiqlal yang megah itu, merupakan kegiatan yang secara tidak langsung mengarah pada adanya proses ‘ofisialisasi Islam’. Jika boleh disimpulkan, sementara pemimimpin Islam berusaha keras agar gagasan tentang Islam sebagai dasar dan ideologi negara diterima, Soekarno, untuk maksud perimbangan kekuasaan, melakukan gerak ofisialisasi Islam. Karenanya, dapat dikatakan bahwa perkembangan Islam pada masa Soekarno hanya menampilkan dimensi eksoterismenya saja.
Yang menarik dari penjelasan tentang pola-pola pemikiran politik umat Islam pasca kemerdekaan ini adalah munculnya beberapa asumsi tentang persatuan dan perpecahan umat Islam dalam hubungannya dengan persoalan politik-pemerintahan, kekuasaan, dan pemahaman keagamaan itu sendiri. Di bidang politik, sepanjang hal itu menyangkut perjuangan untuk mendirikan negara Islam, terutama pada masa pasca kemerdekaan dan Demokrasi Liberal, karena sifat liberalisasi politik Indonesia ketika itu, umat Islam bersatu untuk membuat gagasan tersebut berhasil. Sementara itu, perkembangan partai politik Islam Masyumi yang berjalan dengan sistem alokasi peran dan kekuasaan yang tidak memuaskan sementara pihak, dalam sejarah telah dianggap sebagai faktor perpecahan. Hal ini nampak benar pada kasus keluarnya PSII dan NU dari Masyumi.
Kenyataan demikian, menimbulkan asumsi lain, bahwa sepanjang menyangkut kekuasaan, umat Islam cenderung melupakan prinsip ukhuwwah Islamiyah (persatuan), cita-cita bersama dan lain sebagainya. Kenyataan ini tampak pada upaya Masyumi untuk membuat PSII dan NU merasa tidak puas dengan alokasi peran dan kekuasaan yang dirancang.
Sementara itu, NU yang telah mengubah dirinya menjadi partai politik menyadari kegagalan demi kegagalan perjuangan politik Islam yang bersifat oposan terhadap kekuasaan pemerintahan, tampil dengan manuver-manuver politik yang sama sekali baru. Dalam perjalanannya sebagai partai politik pada periode Demokrasi Terpimpin, NU tampil sebagai partner pemerintah dalam pembangunan politik nasional, dengan harapan mendapatkan kedudukan politik tertentu — seperti pos Departemen Agama. Untuk mempertahankan alokasi itu, tak jarang NU melangkah terlalu jauh, meninggalkan prinsip-prinsip yang ada pada partai-partai Islam lainnya. Kesediaan NU untuk menyuarakan perjuangan suci Darul Islam sebagai bughat (pemberontakan) dan menerima nasakom, merupakan indikasi betapa organisasi ini berusaha keras untuk dapat tetap menjadi partner pemerintah. Dan, karenanya tetap mendapatkan alokasi kekuasaan dalam struktur pemerintahan. Perebutan demi alokasi kekuasaan yang sempit ini harus dibayar dengan kekalahan demi kekalahan politik Islam secara keseluruhan.
Sekali lagi, kelompok Islam secara simbolik berhasil dikalahkan. Dan di balik kekalahan simbolik itu, selama masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno, artikulasi legalistik/formalistik gagasan dan praktik politik Islam, terutama gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara, mulai menunjukkan implikasi-implikasi bawaannya yang lebih negatif. Kecuali NU, yang segera mengarahkan kembali orientasi politiknya dan menerima Manipol Usdek-nya soekarno, kekuatan politik Islam menurun drastis. Para pemimpin Masyumi khususnya, yang sejak awal diskursus ideologi di indonesia dipandang sebagai pendukung-pendukung sejati gagasan negara Islam, dijebloskan ke dalam penjara karena oposisi mereka terhadap rezim yang terus berkelanjutan. Dan akhirnya, Soekarno membubarkan Masyumi pada tahun 1960 dengan alasan bahwa beberapa pemimpin utamanya (seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara) terlibat dalam pemberontakan PRRI. Sebagaimana dikatakan oleh Natsir, “selama masih ada kebebasan partai, selama itu demokrasi ditegakkan. Kalau partai dikubur, demokrasi pun otomatis akan terkubur, dan di atas kuburan ini hanya diktatur yang akan memerintah.” Kedekatan nilai-nilai Islam dengan demokrasi dapat kita lihat seperti “zat dengan sifat Tuhan”. Sepeninggal Masyumi, politik Islam yang berlangsung adalah politik penyesuaian diri. Di antara partai-partai Islam di Indonesia, tiga partai yaitu NU, PSII dan Perti berhasil bertahan hidup selama periode Demokrasi Terpimpin. Keberhasilan partai-partai ini bertahan karena mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan Demokrasi Terpimpin seperti yang dikehendak Presiden Soekarno.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Dewan Konstituante dibubarkan, dan Presiden mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan dekrit itu, otomatis persoalan Piagam Jakarta terungkit kembali. Untuk itu, Presiden memutuskan bahwa Piagam Jakarta mempunyai hubungan kesejarahan khusus dengan Undang-Undang Dasar (UUD), karenanya dianggap sebagai suatu bagian integral dari UUD itu sendiri. Pengakuan semacam ini terhadap Piagam Jakarta dapat diartikan sebagai indikasi adanya posisi khusus yang dimiliki umat Islam. Dan tampaknya umat Islam, baik dikarenakan oleh problematika intern yang mereka hadapi, seperti konflik-konflik keagamaan, konsep politik yang tidak begitu jelas dan lain sebagainya, membuat mereka tidak begitu tanggap dalam mempergunakan kemunculan pengakuan terhadap Piagam Jakarta yang kedua kalinya itu.
Di sinilah “politik ketakutan akan mayoritas” dari kalangan minoritas yang ademokratis ikut memainkan peran. Keprihatinan terhadap kemungkinan bahwa kelompok Islam akan memenangkan pemilihan umum menyebabkan para pemimpin dan aktivis politik kelompok nasionalis meninjau kembali strategi mereka berkenaan dengan penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam hal ini, salah satu pilihan yang paling memadai adalah menunda waktu penyelenggaraan pemilihan umum. Seperti dinyatakan A.R. Djokoprawiro dari Partai Indonesia Raya (PIR), strategi partainya adalah ”menunda pemilihan umum sampai posisi para pendukung Pancasila lebih kuat“. Pemimpin-pemimpin lain seperti Soekarno, yang saat itu kepala negara, berusaha keras mempengaruhi diskursus politik negara untuk mendukung politik yang sudah di-“dekonfessionalisasi”. Pada 27 Januari 1953, dalam safari politiknya di Amuntai (terletak di sebelah selatan Kalimantan yang komunitas Muslimnya sangat kuat), ia mengingatkan para pendengarnya akan pentingnya upaya mempertahankan Indonesia sebagai negara kesatuan nasional. “Negara yang kita inginkan,” katanya, “adalah sebuah negara nasional yang mencakup seluruh Indonesia. Jika kita mendirikan negara yang di dasarkan atas Islam, beberapa wilayah yang penduduknya bukan Muslim, seperti Maluku, Bali, Flores, Timor, Kepulauan Kai, dan Sulawesi, akan melepaskan diri. Dan Irian Barat, yang belum menjadi bagian dari wilayah Indonesia, Akan tidak mau menjadi bagian dari Republik.”
Ketika pesta demokrasi yang pertama berlangsung (1955) kelompok Islam hanya menguasai 43,5% kursi di Parlemen membuat mereka sulit untuk segera memutuskan apakah mereka akan terus mendesakkan gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara atau tidak. Para politisi Islam menghadapi dilema berat antara agama dan politik. Secara keagamaan, seperti ditunjukkan oleh salah seorang pemimpin mereka, mereka digerakkan oleh kewajiban transendental untuk menghadirkan watak holistik Islam ke dalam realitas. Secara politis, bagaimanapun mereka tetap harus menunjukkan bahwa mereka adalah politisi-politisi yang tidak mengingkari janji mereka dalam kampanye. Setidak-tidaknya, sementara pada akhirnya akan menerima Pancasila sebagai ideologi negara, upaya mendesak dijadikannya Islam sebagai dasar ideologi negara berfungsi sebagai alat tawar-menawar politik untuk memenangkan tujuan-tujuan politik yang lebih kecil (yakni dilegalisasikannya kembali Piagam Jakarta dan Islam sebagai agama negara).
Pada tanggal 4 Agustus 1949 disusun Delegasi Indonesia yang akan mengikuti perundingan-perundingan dengan Belanda di Den Haag selama Konferensi Meja Bundar. Bertepatan dengan itu Moh. Hatta menyarankan kepada Muhammad Natsir untuk mengadakan hubungan dengan Kartosoewirjo, agar Kartosoewirjo menghentikan semua permusuhan terhadap angkatan Bersenjata Republik. Kemudian Muhammad Natsir menugaskan A. Hassan seorang pemimpin Persis yang juga mengenal Kartosoewirjo untuk menyampaikan surat yang dibuat oleh M. Natsir dengan menggunakan kertas surat hotel, surat tersebut tidak dianggap sebagai surat resmi, dan ditahan selama tiga hari sebelum diteruskan kepada Kartosoewirjo.
Sementara itu, Islam Modern mencapai puncak-puncak baru. Pada tahun 1923 sekelompok pedagang mendirikan Persatuan Islam di Bandung. Pada tahun 1924 seorang Tamil kelahiran Singapura bernama A. Hassan (lahir tahun 1887) yang beribukan orang Jawa bergabung dengan organisasi tersebut. Pembelaannya yang gigih terhadap doktrin-doktrin Islam Modern, kecamannya terhadap segala sesuatu yang berbau takhyul (yaitu banyak dari apa yang diterima sebagai Islam yang sebenarnya oleh kaum muslim lokal), perlawanannya yang berapi-api terhadap nasionalisme dengan alasan bahwa nasionalisme telah memecah belah kaum muslim daerah yang satu dengan daerah lainnya, kesemuanya itu membenarkan julukan organisasi tersebut, yaitu ‘Persis’ (berdasarkan atas kata Belanda precies, yaitu tepat). Hal ini mengakibatkan keluarnya banyak anggota kelompok ini yang lebih moderat; pada tahun 1926 mereka mendirikan organisasi tersendiri yang bernama Permufakatan Islam.
Pada tanggal 6 Agustus 1949 Mohammad Hatta berangkat ke Den Haag untuk mengikuti Konferensi Meja Bundar yang dimulai 12 hari kemudian. Kejadian ini bagi Kartosoewirjo merupakan pertanda untuk bertindak, karena dengan keberangkatan Hatta ke Holland baginya kini terdapat “vakuum kekuasaan” Tetapi tentunya Kartosoewirjo juga bermaksud untuk menghadapkan Hatta pada suatu fait accompli sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag dimulai.
Kemudian Kartosoewirjo sekali lagi menandaskan perlunya berdiri Negara Islam Indonesia dalam masa “vacuum of power” dengan mengeluarkan Maklumat Pemerintah NII no.II/7 yang berbunyi:
Bismillahirachman nirrachim
MAKLOEMAT PEMERINTAH
Negara Islam Indonesia
No. II/7
Sjahdan, maka perdjoeangan kemerdekaan nasional, jang dimoelaikan dengan Proklamasi berdirinja Repoeblik Indonesia, 17 Agoestoes 1945, soedahlah mengachiri riwajatnja. Orang boleh memberi tafsir jang moeloek2, jang memboeboeng tinggi menemboes angkasa; orang boleh tjari lagi alasan2 jang lebih litjin, lebih juridis, lebih staasrechtelijk, lehin volkenrechtelijk; tetapi meski dipoetar balik betapa poela, dengan lakoe jang serong dan alasan jang tjurang sekalipoen, orang tak koeasa membalik hitam mendjadi poetih, bathil mendjadi haq, haram mendjadi halal………sepandai-pandai manoesia bersilat, tidaklah ia koeasa membalik Timoer mendjadi Barat!
Setinggi-tinggi bangau terbang, kembali kekoebangan djoega. Maka Repoeblik djatoeh poela kepada tingkatan sebeloem proklamasi; kembali kepada pokok-pangkal pertama, di tangan moesoeh, di tangan Belanda pendjadjah.
Alhamdoelillah, pada saat kosong (vacuum), saat di mana tiada kekoeasaan, dan pemerintahan jang bertanggoeng jawab (gezags en regringsvacuum), maka pada saat jang kritis (membahajakan) dan psychologisch lemah itoelah Oemmat Islam Bangsa Indonesia memberanikan dirinja menjatakan sikap dan pendiriannja jang djelas-tegas, kepada seloeroeh doenia: Proklamasi berdirinja Negara Islam Indonesia, 7 Agoestoes 1949.
Pada saat itoe, maka automatis (dengan sendirinja) perdjoeangan kemerdekaan Indonesia beralih arah, bentoek, sifat, tjorak dan toedjoeannja, mendjadilah: perdjoeangan Islam Indonesia.
Setelah bermusyawarah dengan petinggi-petinggi Dewan Imamah dan semua unsur-unsur yang terkait dalam wadah T.I.I., maka dengan kebulatan tekad bersama untuk menerima Kurnia Allah yang maha besar akan Lahirnya Negara Islam Indonesia, maka pada tanggal 12 Sjawal 1368/7 Agustus 1949 di desa Cisampah, kecamatan Cilugalar, kawedanan Cisayong Tasikmalaya di proklamasikannya NEGARA ISLAM INDONESIA. Yang ditanda-tangani oleh Kartosoewirjo sendiri atas nama Umat Islam Bangsa Indonesia. Selengkapnya teks proklamasi N.I.I. adalah sebagai berikut:

PROKLAMASI
Berdirinja
NEGARA ISLAM INDONESIA
Bismillahirrahmanirrahim
Asjhadoe anla ilaha illallah wa asjhadoe anna Moehammadar RasoeloellahKami, Oemmat Islam Bangsa Indonesia
MENJATAKAN:
Berdirinja
,,NEGARA ISLAM INDONESIA”
Maka hoekoem jang berlakoe atas Negara Islam Indonesia itoe, ialah:
HOEKOEM ISLAM
Allahoe Akbar! Allahoe Akbar! Allahoe Akbar!Atas nama Oemmat Islam Bangsa Indonesia
Imam
NEGARA ISLAM INDONESIA

ttd.

~ oleh syafna88 pada Agustus 22, 2009.

2 Tanggapan to “Kartosoewirjo Memproklamasikan Negara Islam Indonesia”

  1. terlalu banyak dosa yang telah dilakukan oknum2 penghianat negri ini,akankah qt slaku umat islam sll diam dengan kondisi ini?????
    semoga Allah memberikan kekuatan kepada qt unt memenangkan perjuangan suci murni ini………Allahuakbar…Allahuakbar….
    Allah minted 100%,Rosulullah 100%,Islam (NII) 100%

  2. Amin..Allahuakbar!..satukan langkah saudar2ku..

Tinggalkan komentar